Kamis, 09 Februari 2012 |

CBG Episode 2

"Maaf Ya Bu.."

Benar, aku seorang sarjana Pendidikan Matematika. Namun selain mengajarkan mata pelajaran Matematika, aku juga menjadi guru mata pelajaran Bahasa Inggris di kelas VII. Mengapa? Alasan klasik, tak ada seorang pun lulusan Pendidikan Bahasa Inggris yang melamar untuk mengabdi sebagai tenaga honorer di sekolah tempatku mengajar. Mungkin tak ada yang berminat  karena lokasi sekolah yang sulit dijangkau akibat buruknya kondisi jalan raya menuju sekolah. Selain itu, di daerah ini lulusan Pendidikan Bahasa Inggris memang masih langka, berhubung jurusannya belum tersedia di perguruan tinggi setempat. Baru pada tahun 2011,  jurusan Pendidikan Bahasa Inggris mulai dibuka di salah satu perguruan tinggi swasta.
Karena tenaga pengajar untuk bidang tertentu seperti Bahasa Inggris, SBK (Seni Budaya dan Keterampilan), PKn, dan TIK belum ada, beberapa di antara kami – para guru – mengajarkan mata pelajaran yang bukan merupakan keahliannya. Di kelas VIII dan IX pun, Bahasa Inggris diajarkan oleh guru bergelar S.Pd.I (Sarjana Pendidikan Islam). Guru IPS selain mengajarkan mata pelajaran IPS juga mengajarkan PKn, begitu pula guru Biologi yang sekaligus menjadi guru TIK. Bahkan, salah seorang guru berlatar belakang Pendidikan Bahasa Indonesia hanya mengajarkan SBK. Kesimpulannya, aku tak sendirian.
***
Aku berusaha membangun kepercayaan diriku,  menggumamkan sejuta alasan bahwa ini tak seberat yang kupikirkan dan aku mampu melakukannya. Salah satunya adalah bahwa meskipun tak pernah mendalami ilmu linguistik – atau apalah istilahnya – aku sudah berusaha agar siswa yang menjadi anak didikku memperoleh keterampilan berbahasa Inggris sebagaimana jika mereka diajar oleh guru yang berkompeten di bidang ini. Membaca literatur-literatur tentang metode pembelajaran bahasa Inggris yang efektif, dan banyak menonton dan mendengarkan siaran-siaran televisi berbahasa Inggris baku seperti yang ditayangkan oleh stasiun NHK World kuharap sedikit-banyak bisa membantu. Alhamdulillah, dengan mengantongi nilai 513 pada tes prediksi TOEFL yang diselenggarakan di kampusku saat kuliah dulu, kurasa kemampuan bahasa Inggrisku sendiri sudah cukup sebagai bekal mengajar di jenjang SMP. Pronunciation-ku juga cukup bagus kok.

Satu hambatan yang cukup menyulitkanku dalam ‘membelajarkan’ Bahasa Inggris adalah kenyataan bahwa siswa yang kuajari memiliki intake yang sangat rendah. Mereka bahkan tak menguasai Bahasa Indonesia dengan baik.
Pernah suatu pagi setelah mengawali pertemuan dengan salam, aku mendapati sepucuk surat di atas meja guru. Sebuah ‘surat sakit’, begitu siswa yang hadir menyebutnya.

Assalamualaikum wr. wb.
Maaf bu, hari ini saya tidak bisa datang ke sekolah karena sakit ka’. Jadi sekali lagi, maaf ya bu..

Aku tersenyum kecut. Singkat benar isi suratnya, diwarnai dengan dialek daerah pula. *Ini mestinya sebuah surat resmi ‘kan? Aku lalu membacakannya di depan kelas, dan beberapa di antara siswa terkikik-kikik sementara yang lain hanya terpana. Niatku bukan untuk mempermalukan siswa yang bersangkutan. Aku hanya ingin memastikan tidak ada lagi yang mengulangi kesalahan seperti itu. Toh, siswa tersebut juga tidak ada di tempat.

Kurasa amanah ini kembali terasa berat di pundakku. Aku tak bisa menyalahkan siapa pun. Hanya saja, sepertinya kapan-kapan aku akan memberi sedikit protes pada guru Bahasa Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar