Jumat, 28 Oktober 2011 |

Jangan Ditiru

Malam ini sama seperti malam-malam sebelumnya. Black out, alias Mati lampu. Aku tak bisa melakukan kegiatan apapun dengan benar saat gelap begini, jadi kuputuskan menunggu aja sampai listrik kembali on. Hhhh... padahal ‘kan harus mempersiapkan pembelajaran buat besok. Gak lucu dong kalau harus ngajar tanpa persiapan hanya gara-gara mati lampu. Untungnya netbook bisa nyala tanpa listrik... eh, maksudnya bisa pakai batere.
Berkutat dengan aktivitas mengajar dan yang lainnya, tiba-tiba aja jadi teringat masa-masa kuliah dulu. Belajar dan belajar, tarbiyah dan tarbiyah (artinya sama aja sih..), gak mikirin lainnya. Kadang malah belajar pun dikerjakan hanya sebagai rutinitas semata dan seenak perut saja. Dan karena cara belajar yang salah, akhirnya hasil yang diperoleh pun tak sesuai harapan (orang tua) deh.. Bak kata pepatah Melayu, sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna.
Nah.. karena latar belakang di atas maka dapat kami rumuskan masalah yang pengen aku omelkan kali ini adalah beberapa cara belajar yang salah (nyambung-gak-nyambung, never mind lah) dan dampaknya berdasarkan penelitian empiris pribadiku. Warning! Validitas tidak dijamin.
1.    Belajar sambil tiduran. Kebiasaan ini dapat menyebabkan kelelahan pada mata karena tidak mendapat pencahayaan yang cukup, dan akibat jangka panjangnya adalah dapat menyebabkan kerabunan pada mata. Kacamataku bisa jadi bukti konkritnya.
2.    Belajar di atas kasur. Dampaknya adalah, jangan harap bisa bertahan belajar lama-lama. Apa lagi jika diapit bantal guling, ditemani semangkuk cemilan dan minuman, dan buku di hadapanmu setebal buku kalkulus universitas bersampul biru yang legendaris itu. Dijamin nguap-nguap deh...
3.    Belajar setelah kekenyangan makan mie instan. Ibid.
4.    Belajar setelah lelah nonton tivi. Ibid, plus membuang-buang waktu yang berharga.
5.    Baru belajar keras dan serius saat 10 jam lagi akan Mid Test. Pelajaran  bisa-bisa kembali tercecer keluar dari kepala sebelum kertas ujian dibagikan.
Dan lain-lain. Semua yang disebutkan diatas hanyalah beberapa kesalahan favoritku waktu awal-awal kuliah dulu.. hehehe.. Aku teringat Egha pernah bertanya pada EnggaLalita, “Ika sibuk sekali tarbiyah ya?”. Pertanyaan yang muncul karena heran kenapa akhir-akhir itu (dan selanjutnya) nilaiku jadi jelek, mungkin dipikirnya aku gak  sempat belajar gara-gara disibukkan aktivitas tarbiyah -mana mungkin lah...- Aku yang kebetulan mendengar percakapan mereka dengan enteng menjawab, “Tidur ja’...”. Gimana  pelajaran bisa masuk kalo tiap tiga halaman buku cuma jadi pengantar tidur. Hahaha!!! So, nasehatku buat para pelajar, DON’T TRY THIS AT HOME!!!
Hmm.. listrik dah on. Saatnya memeriksa jawaban Mid Test siswa. Bikin posisi wuenak di kasur ah... >_<
Sabtu, 15 Oktober 2011 |

Jangan Jadikan Dia Jodohku

“Jika ada yang hatinya mulai terusik dengan perasaan cinta terhadap lawan jenis, maka jujurlah pada hatimu dan berdoalah ‘Ya Allah, aku mencintainya tapi jangan jadikan ia sebagai jodohku’. Mengapa?? Karena perasaan itu muncul sebelum ia halal bagimu. Suatu keluarga yang ingin menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah itu bukan hal yang mudah. Semuanya perlu didasarkan atas kesucian. Kesucian dari keduanya baik hati dan fisik. Dan yang terpenting kesucian prosesnya itu sendiri karena bagaimana keluarga itu akan  suci kalau prosesnya saja tidak bersih. Keluarga yang diberkahi insyaAllah akan lahir generasi pejuang, para hafidz (penghapal) Qur’an, generasi yang tangguh, yang akan menjalankan estafet dakwah ini ke depan. Semoga Allah mempertemukan kita dengan orang yang terbaik. Amiiin.”

Demikian persisnya bunyi SMS yang masuk ke inbox hape ku sore kemarin. Begitulah para akhwat – saudari seiman – senantiasa saling mengingatkan dan menasehati di atas kebenaran (para ikhwan juga kali). Bahkan SMS yang masuk terkadang sangat tepat dengan keadaan si penerima hingga ia jadi heran, ‘kok bisa pas banget nasehatnya, apa nih akhwat nggak lagi nyindir ya?’ Hmm.. sepertinya Ukhuwah memang lebih kuat sinyalnya dari telePATI (asli, bukan iklan operator seluler manapun).
Kalian tentu setuju dengan isinya bukan? Aku juga. Hanya saja yang kurang berkenan di hatiku adalah pada doa yang disarankan oleh pengirim, terutama bagian “jangan jadikan ia sebagai jodohku”. Mengapa?? Pertama, aku tidak tahu dalil pengambilan doa ini, apakah benar ada anjurannya dari Rasulullah atau hanya dari lahir dari gagasan si pengirim saja. Jika memang ada dalilnya, mungkin sebaiknya ia mencantumkan minimal perawinya di akhir baris doa, agar kesannya lebih ilmiah. Tapi jika ternyata dalil yang dimaksud tidak ada, ia harusnya berhati-hati dan mempertimbangkan kembali pengiriman sms doa seperti ini.
Kedua, kalian kalau jatuh cinta apa nggak berat hati meminta pada Allah agar tidak menjadikan orang yang dicintai sebagai jodoh (hayo ngaku!!). Jadinya nggak jujur dong. Jika kalian mengirimkan sms doa ini pada made’u (target dakwah) yang masih sangat awam, dijamin 80% bakal lari tuh.
Aku pribadi lebih memilih untuk mengatakan (kepada yang mau mendengarkan) bahwa cinta adalah fitrah, namun bisa dikendalikan arahnya bahkan bisa dicegah dengan meminimalisir interaksi dengan lawan jenis (kata dokter, mencegah lebih baik daripada mengobati). Kalau terlanjur jatuh cinta sebelum halal, maka obatnya adalah dengan tidak melakukan tindak lanjut apapun. Hindari sekalipun hanya ingatan/khayalan tentang warna pakaian yang biasa dikenakannya, terlebih lagi keinginan untuk pedekate atau semacamnya. InsyaAllah, virus merah jambu itu tak akan berkembangbiak dalam hatimu, minimal ia akan membeku saja disana.
Mintalah jodoh yang terbaik kepada-Nya. Jika dia bukanlah yang terbaik, semoga Allah menggantikannya dengan yang lebih baik dan menghapusnya dari ingatan dan hatimu, karena sesungguhnya hati manusia berada dalam genggaman-Nya. Tapi jika si dia itulah jodoh terbaik yang kau minta, kriteria terpenuhi, bersih dari urusan tetek bengek pacaran, dan ia melamarmu pada ortumu, hanya satu komentarku. Pucuk dicita ulam pun tiba.. hehehe...

Rendah hati Itu Lebih Baik

Ini kuceritakan padamu bukan bertujuan untuk membeberkan aib sendiri melainkan untuk diambil ibrah dibaliknya. Aku lebih suka bercerita dengan sudut pandang orang pertama dibandingkan yang lainnya. Intinya, kisah ini tak jauh-jauh dari topik tentang AKU. Saranku, setelah membaca ambillah yang jernih dan buanglah yang keruh (jangan malah diaduk).
***
Aku tumbuh sebagai seorang gadis kecil yang cerewet sekali. Rasa ingin tahu yang besar membuatku menanyakan setiap hal yang menarik perhatianku. Untuk memuaskan rasa ingin tahuku, aku bahkan menanyakan hal-hal remeh-temeh di sekitarku yang menurut orang-orang sudah tak perlu ditanyakan lagi.
            “Sudah sangat jelas ‘kan?” kakakku yang ke lima mendelik dengan tatapan ‘kau-pura-pura-tak-tahu’ saat kutanyakan apa yang dia masukkan ke dalam adonan kue yang dibuatnya. Di lain waktu ketika dia baru selesai menyanyikan lagu Balonku, kutanyakan mengapa ketika balon hijau pecah, balon kakakku jadi tinggal empat sedangkan katanya balon-balon itu berwarna “merah-kuuning-keelaabuu-merahmuuda-dan biiruu…” Kalau dia memang tak memiliki balon hijau, mengapa harus risau? Yang pecah mungkin saja balon tetangga. Kakakku tergelak-gelak tanpa menjawab pertanyaanku. Belakangan baru aku tahu bahwa kakakku salah menyanyikannya, mengganti hijau dengan merah sebagaimana banyak orang yang tak memperhatikan hal tersebut.
            Tak hanya suka bertanya, aku juga kerap kali menjelaskan apapun tanpa diminta, terkadang menambahkan komentar-komentar yang menurutku lebih ‘memperjelas’ kata-kataku.
            “Pak, sun itu artinya matahari kan?” teriakku pada guru Bahasa Inggris yang tengah menjelaskan kata son dan anggota keluarga lainnya di depan kelas. Saat itu aku duduk di bangku kelas dua sekolah rendah. Dengan jengkel, Cikgu Roy melemparkan kapur di tangannya ke arahku. “Betul, tapi belum saatnya kita belajar itu, nak! Sekarang ANGGOTA KELUARGA” Kemudian ia melanjutkan pelajaran. Aku tersinggung, tentu saja. Namun perlakuan itu tak mengubah kebiasaanku mendominasi kelas dengan suaraku yang keras. Aku meneriakkan “Bulu ayam! Bulu burung! Bulu elang! BULU PELEPAH!” kepada guru Sains-ku yang menanyakan jenis bulu apa yang sedang digambarnya di papan tulis kepada kami. Bedanya, dia menyambut teriakanku dengan senyuman, bukan dengan kapur. Jadilah mata pelajaran Sains sebagai favoritku kala itu.
            “Apa warna dan rasa air yang mengembun di permukaan luar gelas yang diisi susu coklat dingin? Ya, bening dan tawar dong. Kan airnya dari udara, bukan dari dalam gelas” Pertanyaan yang sering kulontarkan lalu kujawab sendiri agaknya membuat teman-teman ku tak senang. Pernah terdengar desas-desus bahwa fulanah cs sepakat tak mau berteman denganku, atau geng anu cuma pura-pura berteman denganku karena aku terlalu banyak mulut dan terkesan mendominasi seluruh pembicaraan.
Aku tak terlalu merasakan kebenarannya, karena mereka tetap berada disekelilingku, bermain dan belajar. Namun akhirnya aku membuktikan betapa buruknya hal tersebut di mata kawan-kawanku itu, saat aku berada di tingkatan 1 sekolah menengah. Mereka memboikotku.
Aku tak diajak bicara, seakan-akan aku tak ada. Bahkan mereka akan memilih meja lain di kantin saat aku mendekati meja yang mereka gunakan untuk makan bersama. Akhirnya aku makan di meja besar dan bangku panjang itu, sendirian, di tengah kantin yang ramai.
Tapi dasar tak tahu diri, aku tetap enjoy aja tanpa merespon boikot mereka. ‘Aku adalah aku yang begini. Gak perlu permintaan maaf atau klarifikasi, toh akan ada PR matematika dan Sains. Besok-besok pasti mereka bakal minta contekan lagi’, pikirku dangkal. Dan terbukti tak lama setelah itu semuanya kembali seperti semula. Mungkin saja mereka menyimpan semuanya dalam hati, aku tak akan pernah tahu.
Menyombongkan diri secara halus sering kali kulakukan secara spontan, menunjukkan betapa takaburnya aku. Akhirnya Allah menegurku yang sudah mulai baligh – ketika pena sudah mulai mencatat setiap dosa dan pahala – aku kehilangan prestasiku saat pindah sekolah ke kampung halaman, Indonesia. Ranking 24 di kelas jelas sesuatu yang bisa mencopot segala kesombongan yang memang bukan milikku.
Saat awal masa studi di perguruan tinggi, sifat masa kecilku yang sok tahu mencuat tanpa kusadari, dan ternyata itu membuat sebagian rekan tak senang padaku. Baru kemudian ketika aku beranjak dewasa (sedewasa yang aku mampu) dan mulai faham makna hidup, aku tahu. Aku tahu bahwa sekagum apapun kau pada dirimu, kau tetap punya sisi lemah dan butuh teman di sekitarmu. Terlalu bersikap dominan tak akan membuatmu tambah disukai melainkan makin dijauhi. Tak ada yang lebih menarik hati orang lain lebih daripada ketawadhu’an (rendah hati tanpa menghinakan diri).
Jika kau terlahir dengan ego yang tinggi, sepertinya sekaranglah saatnya kau mengurangi porsinya dari perilakumu, meskipun tak semudah membalikkan telur dadar. Lebih rendah hati, lebih banyak teman. Lalu coba perhatikan betapa manisnya persaudaraan, seperti yang kurasakan saat Allah menganugerahiku sahabat-sahabat terbaik: EnggaLalita, Firah Ali, Titi Fahnur, para akhawaat dan Renamiyuga. Semoga tak ada kekesalan yang tersimpan di hati kalian, karena aku benar-benar tak bisa melupakan masa kecilku sepenuhnya, bisa jadi selamanya akan berbekas. Miss you all, guys!

I Have A Mensa, Who Believes It?

Aku pernah mencoba sebuah program aplikasi tes IQ, dan memperoleh angka 132. Mensa level, begitu keterangan yang tertera. Aku tak tau apa artinya, tapi dapat kutebak, mungkin bisa kuartikan sebagai genius, karena terletak di atas level high. Bah... Hebat beneeeer ya? wkwkwk....

Oh, baiklah. Aku ngaku.. Sebenarnya itu hasil untuk usahaku yang kedua kalinya, setelah pada percobaan pertama aku menyelesaikan seluruh pertanyaan dengan cepat karena kukira akan mengurangi perolehan angka jika terlalu lama berpikir. Dan hasilnya 108, high level. Kupikir aku bisa memperbaikinya jika kuulangi, karena tak lama setelah itu aku menyadari bahwa program itu hanya menyajikan gambar-gambar dengan pola bergerak dan menyuruhku untuk menebak gambar berikutnya dengan pola tersebut. Yah, sepertinya konsep yang mirip dengan pola bilangan, materi favoritku saat di kelas 3 SMP. 

Kalau ingatanku tak salah, saat di kelas 1 aku pernah mencoba menemukan sendiri rumus yang dapat kugunakan untuk menemukan pola bilangan aritmetik dan mengetahui bahwa polanya dapat kau temukan dengan mengambil sebuah bilangan yang diketahui nilai dan urutannya sebagai sampel (biasanya soal menyajikan 3 angka pertama). Langkah selanjutnya adalah dengan mengalikan beda bilangan-bilangan dalam deret dengan urutan bilangan sampel tersebut, kemudian tanpa mencari hasil kalinya, angka-angka tersebut dijumlahkan dengan suatu bilangan bulat (positif atau negatif) sedemikian rupa sehingga hasil keseluruhannya sama dengan nilai sampel yang ditentukan di awal. Kemudian urutan bilangan sampel yang tadinya berupa angka diubah ke dalam variabel n. Cukup ribet memang, tapi hasilnya cepat dan akurat buat anak SMP. Namun setelah mendapatkan rumus a+(n-1)b di SMA, aku segera saja melupakannya dan berpikir, mengapa tidak dari dulu kami diajarkan rumus tersebut? Oh. Ya..ya..ya.. Skenario pembelajaran, tentu saja. Ada lagi usahaku untuk menemukan pola bilangan berpangkat yang sejenis dengan n(n^3 - 2). Aku menemukan beberapa rumus, mengujinya dan gagal. Berkali-kali sampai akhirnya aku bosan dan melupakannya. Try and error. Hasilnya, ya ERROR.. hehehe...

Back to the topic. Program itu tentu saja belum bisa dipertanggungjawabkan keakuratannya. Mensa level.. siapa yang percaya? IP-ku saja tak sampai Cum Laude (ejaannya udah bener gak ya?) Aku bahkan meraih D untuk mata kuliah Fungsi Kompleks dan sering lupa dimana meletakkan kacamataku. Dengan level mensa seharusnya aku bisa mendapatkan Summa Cum Laude 4,00.  

Hanya sebuah program aplikasi Macromedia Flash, kukira pembuatnya juga bukan seorang jenius. Mungkin jika aku mencoba untuk yang ketiga kalinya, IQ-ku bisa jadi 200 di program itu. Wkwkwkwk... ;-D