Minggu, 24 Mei 2009 |
Sofia

Sahabat karib sekaligus tetanggaku yang terdekat. Dia dua tahun lebih muda namun lebih tinggi beberapa cm dariku, seorang gadis blasteran Melayu-Thailand. Rumah kami letaknya berdempetan, karena rumah-rumah dalam area perumahan yang kami tinggali adalah rumah-rumah kembar. Kami berkenalan saat usiaku 6 atau 7 tahun, usia yang masih penuh dengan keluguan dan kepolosan. Saat itu, aku dengan malu-malu membalas sapaan 'hai' darinya yang saat itu sedang bermain dengan anak-anak tetangga lainnya (yang kemudian juga menjadi teman-temanku). Lalu, karena saling melihat ekspresi malu-malu dari kedua belah pihak, kami pun tertawa.. proses perkenalan yang membuatku tersenyum-senyum saat mengingatnya.

Sofia berasal dari Perlis, Semenanjung Malaysia. Sekilas tentang keluarganya, saat itu dia mempunyai seorang abang dan dua orang adik lelaki (kabar terakhir yang kudengar, setelah kembali ke Perlis ibunya telah melahirkan 2 orang adik lagi untuknya^_^). Ayahnya adalah guru Agama Islam sekaligus guru mengaji di masjid kompleks. Beliau sangat tegas. Pernah sekali aku mendapat sabetan lidi di telapak tangan akibat ikut meramaikan keributan di masjid saat ustadz kami itu meninggalkan kami sejenak. Walhasil, saat pulang aku menangis keras-keras (lupa kalau orang yang memberi hukuman ada di balik dinding) dan berusaha mengadu pada ibuku, tapi tak dipedulikan. Esoknya baru aku menyesal karena ternyata beliau mendengar tangisanku dan mengumumkan pada teman-temanku bahwa salah satu dari kami menangis semalaman karena disabet lidi. Asli malunya...

Back to Sofia, ia anak yang cerdas. Usia 6 tahun ia sudah ikut masuk sekolah secara tak resmi, karena usianya belum cukum untuk masuk sekolah rendah. Setelah ujian kenaikan kelas (peperiksaan, kata orang Melayu), ia mendapat ranking pertama. Lucunya, ia tetap tinggal kelas karena usianya baru 7 tahun dan baru layak untuk masuk ke kelas 1. Hehe..he..

Pertemanan kami tak berlangsung lama. Ketika akan naik ke kelas 2, Sofia dan keluarganya kembali ke Perlis, kampung halaman mereka (kupikir, mungkin karena waktu pengabdian ayahnya sebagai guru di luar daerah telah habis masanya). Aku sedih sekali saat itu. Namun hungan kami masih tetap berlanjut selama beberapa bulan karena atasan ayahku kenal dengan ayah Sofia dan tahu alamat mereka di Semenanjung. Selama itu, kami saling berkirim hadiah melalui perantaraan atasan ayahku itu. Dan ketika beliau dipindahtugaskan, hubungan benar-benar terputus hingga saat ini...


Linda

Aku lupa nama aslinya, Siti Haslinda... atau Siti Aslinda.. Entahlah, ingatanku memburuk sejang beberapa tahun terakhir (mungkin akibat kebanyakan mengkonsumsi MSG dalam instant noodles. Maklum.. Mahasiswa.:) ). Hope she didn't care with this. Kalau aku tak salah mengingat, ia berasal dari keluarga suku Kadazan, penduduk asli di Sabah.

Linda juga salah satu tetangga selang satu rumah dari rumahku, dan kedua orang tuanya juga guruku. Memang, aku tinggal di bagian area perumahan yang dikhususkan untuk para guru dan mandor. Aku sekelas dengan Linda sejak kelas 2 Sekolah rendah. Kami sering ke sekolah bersama, plus Sofia sang adik kelas. Aku ingat, kami saling memanggil dengan nama singkatan. Linda dipanggil Lyn, dan Sofia disebut Sof. Aku malu menyebut nama singkatanku, karena aslinya aku dipanggil Ika. Nah, kalau disingkat lagi, jadinya...?

Linda meninggalkanku saat akan naik ke kelas 3 karena kedua orang tuanya pindah mengajar ke daerah lain. Ia sempat kembali ke sekolahku untuk mengikuti ujian PTS (Penilaian Tahap Satu, untuk menyeleksi anak-anak kelas 3 yang dapat diakselerasi langsung ke kelas 5). Kami berdua masih tetap saja kompak... sama-sama belum lulus!! Hehe.. Jadi tak ada yang naik kelas lebih dulu.^_*

Linda pindah ke kota yang tidak terlalu jauh, dan kami beberapa kali masih berkirim surat. Hingga saat kelas 1 sekolah menengah, sebuah tragedi terjadi..

Aku menulis sepucuk surat untuk Linda, berisi cerita-cerita tentang keadaanku saat itu, dan betapa aku rindu berkumpul lagi dengan teman-temanku saat di sekolah rendah. Tak lupa kusisipkan gosip ringan tentang salah seorang teman kelas kami yang kemudian sekelas lagi denganku, bahwa dia menyukai guru agama kami yang tampan dan masih muda. Surat itu awalnya kutulis pada kertas di pertengahan buku latihan Bahasa Inggris-ku. Tapi isinya kusalin kembali setelah menemukan kertas surat yang lebih bagus. Surat dikirim, dan hari-hari pun berlalu...

Suatu pagi yang cerah, aku dipanggil wali kelasku yang juga menjadi guru Bahasa Inggris-ku, Cikgu Linda (kebetulan nama mereka sama). Tak kusangka dan tak kuduga, aku dipanggil untuk diinterogasi sebagai terdakwa atas pengiriman surat kaleng (melayu: surat layang). Dan yang paling membuatku shock adalah bahwa penyebabnya adalah ditemukannya sebuah surat yang ditujukan kepada seseorang yang bernama Lyn dalam buku latihan Bahasa Inggris-ku.

Dapat dipastikan, sang Guru Agama sudah mengetahui perihal suratku, setelah kulihat beliau melintas dengan wajah yang tak bisa kukatakan ‘secerah mentari pagi ini’. Padahal sebelum ini beliau boleh dikatakan sangat senang padaku, bahkan tidak marah saat aku tidur di kelas dengan posisi duduk bersedekap menghadap papan tulis, persis di hadapannya (karena aku duduk di dekat meja guru). Aku dinasehati (dan dimarahi) sampai bercucuran air mata.. Dan ketika aku keluar dari ruang guru dengan mata sembap, beredarlah gosip bahwa surat cintaku ditemukan. Aduh Lindaa… Surat untukmu membawa petaka…


Rabu, 06 Mei 2009 |

Assalamu'alaikum...

Assalamu'alaikum...
Selamat datang di blog ku.
Ini posting pertama. So, tak banyak yang akan kutuliskan.

Aku mengkhususkan posting awal tulisan-tulisanku untuk para sahabat-sahabat kecilku nun jauh di sana, Tanah Melayu dan Pulau Borneo. Tulisan ini kuusahakan berbahasa Indonesia baku, agar nantinya siapa tahu salah seorang dari mereka membacanya dan dapat sedikit mengerti maknanya, karena aku sudah tidak fasih lagi berbahasa Melayu/Malaysia. Namun jika tidak ada yang membacanya, cukuplah tulisan ini menjadi kenang-kenangan buatku...

Wassalam.
al-Mardhiyah