Selasa, 07 Agustus 2012 |

From the Blog to the Facebook

I’m back!! Setelah dapat protes dari Kak Muspidayana, satu-satunya pembaca yang mengecek perkembangan tulisan di blog curhat ku yang lama sekali tak di-update – walaupun rasanya mungkin beliau hanya kebetulan ga’ punya kerjaan, trus iseng-iseng ngecek – kesempatan menulis pun muncul di liburan Ramadhan ini. Sebetulnya selama ini aku tidak sebegitu sibuk sih, hanya saja ide-ide dan curhat-curhatku seringkali muncul saat sedang dalam kondisi tak memungkinkan untuk didokumentasikan, seperti saat di angkot, saat mengendara sepeda motor, atau saat di toilet.. hehehe..
Hm.. saat ini aku ingin membicarakan topik yang agak membosankan, jadi siapkan mental kalian, ditemani sedikit cemilan akan lebih baik .>_<. Pertemuan dari blog ke facebook.
***
Blog ini awalnya kubuat untuk menuliskan kisah-kisah masa kecilku yang menyenangkan, dengan harapan bahwa salah satu dari teman-teman kecilku akan membacanya, lalu ingat padaku. Menurutku, akan menyenangkan rasanya jika mengetahui ada seseorang yang kukenal dan berkorespondensi denganku sementara ia sedang berada di daratan lain, bahkan belahan bumi yang lain. Hanya saja, sebagaimana yang dapat terlihat dari statistik blog-ku, kau akan tahu betapa minim pembacanya, dan sejak awal sudah kuduga akan begitu. Jadi agar tak ditertawai olehmu, di postingan awal kusebutkan dengan jelas bahwa jika tak ada yang membacanya, akulah yang akan melakukannya ;-P.
Well, bagaimanapun juga kenyataannya sedikit berbeda. Blog ini memang minim pembaca, tapi tujuan awalnya tercapai. Siapa sangka, tak lama setelah aku memposting kisah Sofia dan Linda, lalu blog kubiarkan mati suri berbulan-bulan karena aku tiba-tiba tertarik pada facebook (FB) untuk dipakai curhat, sebuah pesan mampir di inbox akun FB-ku. Dari salah seorang teman SD. Surprise!!
Belakangan kuketahui bahwa temanku itu – Bie, begitu aku memanggilnya – memiliki kegemaran blogwalking, dan secara kebetulan yang menguntungkan ia membaca blog ini. Karena merasa bahwa ia mengenal beberapa nama yang kusebut-sebut di dalamnya ia lalu mencariku di FB, dan ketemu. Aku sebetulnya masih heran karena saat itu di FB tak kucantumkan nama asli, namun dia menyapaku dengan nama panggilanku saat SD. *oh, mungkin karena ada riwayat pendidikanku dari SD sampe kuliah kali yah... hehehe..
Aku benar-benar senang, rasanya seperti mengikuti program Jejak Kasih – reality show yang biasa kutonton di TV saat SD – yang mempertemukan keluarga yang bertahun-tahun terpisah tanpa kontak. Kami saling bertukar nomor telefon. Bie langsung menghubungi HP-ku sesaat setelah kuberi nomornya, yang langsung kututup setelah mendengar suaranya karena grogi. Gimana nggak, bahasaku pasti kedengaran lucu nantinya, berusaha di-Melayu-kan dengan campuran dialek Makassar.. hahaha! Bie juga tak keberatan karena ternyata biaya telefon internasional mahal, dan kami melanjutkannya dengan chatting.
Bie sempat bertanya, kenapa profilku tak ada fotonya. Lalu kukatakan bahwa percuma saja memajang foto, karena aku memakai ‘cadar’.
“Itu.. penutup wajah”, kataku menjelaskan.
“Oh.. Alhamdulillah.. kalau di sini disebut niqob”, kata Bie. Aaah... aku lupa bahwa dalam bahasa Melayu, cadar bisa berarti gorden. Pantas saja dia jadi bingung.
Dari Bie, aku berhasil mengontak belasan teman SD dan SMP ku yang lain. Bahkan, wali kelasku di kelas-6 juga menemukanku, menanyakan kabar Emak dan Bapak, karena kami dulu bertetangga persis bersebelahan rumah. Betapa dunia terasa sempit jadinya. Aku lalu membuat sebuah grup alumni sekolah dan menjadikan Bie salah satu admin-nya. Isinya sebagian besar adalah teman sekelasku tentunya, ditambah beberapa adik kelas, dan sisanya dengan jumlah lebih sedikit adalah senior angkatan ‘zaman dahulu kala’ yang tak kami kenal tapi cukup ramah.
Bie seorang muallaf. Bie memberitahuku bahwa ia revert ke agama Islam 3 tahun sebelum saat itu. (aku benar-benar terkesan dengan istilah revert yang digunakannya, bukan convert. Convert bisa diartikan pindah, sementara revert berarti kembali. Jadi, muallaf tidak dikatakan pindah agama melainkan kembali ke agama asalnya). Saat aku membuka-buka wall Bie, isinya tak satupun kata-kata curhat atau perkataan tak berarti lainnya. Status, komentar, gambar, semuanya bernuansa islam. Belakangan, Bie menyatakan di statusnya bahwa ia akan menghapus beberapa teman karena suatu alasan dan memohon maaf karena hal tersebut. Aku berkesimpulan bahwa Bie menarik diri dari ‘hubungan’ yang tak perlu dan tak bermanfaat. Perkembangan terakhir, Bie menutup akun lamanya dan menggantinya dengan akun baru. Aku merasa malu mengingat wall-ku sendiri yang penuh dengan hal sebaliknya. Aku membatasi diriku dengan hijab, namun di dunia maya sepertinya begitu longgar.
Segala sesuatu bisa ditarik hikmahnya, seperti pertemuan maya-ku dengan Bie yang berawal dari blog ke FB. Aku bisa mencontoh Bie. Aku jadi berpendapat bahwa sebagian besar orang menuliskan status dan senang jika ada yang mengomentarinya, atau dalam kata lain, mereka memang mengharapkannya, senang ada yang memperhatikan. Tidak akan ada masalah jika daftar teman kita tidak dipenuhi dengan nama lawan jenis, namun dalam kasusku adalah sebaliknya. Aku telah menerima permintaan pertemanan dari siapapun yang memang kukenali di dunia nyata. SIAPAPUN. Akhirnya, setiap kali terlintas di benakku untuk menuliskan status aneh yang bernuansa galau, langsung kuusir jauh-jauh. Kalau terlanjur keceplosan, yah.. terpaksa dihapus.. >_<
Kamis, 09 Februari 2012 |

CBG Episode 2

"Maaf Ya Bu.."

Benar, aku seorang sarjana Pendidikan Matematika. Namun selain mengajarkan mata pelajaran Matematika, aku juga menjadi guru mata pelajaran Bahasa Inggris di kelas VII. Mengapa? Alasan klasik, tak ada seorang pun lulusan Pendidikan Bahasa Inggris yang melamar untuk mengabdi sebagai tenaga honorer di sekolah tempatku mengajar. Mungkin tak ada yang berminat  karena lokasi sekolah yang sulit dijangkau akibat buruknya kondisi jalan raya menuju sekolah. Selain itu, di daerah ini lulusan Pendidikan Bahasa Inggris memang masih langka, berhubung jurusannya belum tersedia di perguruan tinggi setempat. Baru pada tahun 2011,  jurusan Pendidikan Bahasa Inggris mulai dibuka di salah satu perguruan tinggi swasta.
Karena tenaga pengajar untuk bidang tertentu seperti Bahasa Inggris, SBK (Seni Budaya dan Keterampilan), PKn, dan TIK belum ada, beberapa di antara kami – para guru – mengajarkan mata pelajaran yang bukan merupakan keahliannya. Di kelas VIII dan IX pun, Bahasa Inggris diajarkan oleh guru bergelar S.Pd.I (Sarjana Pendidikan Islam). Guru IPS selain mengajarkan mata pelajaran IPS juga mengajarkan PKn, begitu pula guru Biologi yang sekaligus menjadi guru TIK. Bahkan, salah seorang guru berlatar belakang Pendidikan Bahasa Indonesia hanya mengajarkan SBK. Kesimpulannya, aku tak sendirian.
***
Aku berusaha membangun kepercayaan diriku,  menggumamkan sejuta alasan bahwa ini tak seberat yang kupikirkan dan aku mampu melakukannya. Salah satunya adalah bahwa meskipun tak pernah mendalami ilmu linguistik – atau apalah istilahnya – aku sudah berusaha agar siswa yang menjadi anak didikku memperoleh keterampilan berbahasa Inggris sebagaimana jika mereka diajar oleh guru yang berkompeten di bidang ini. Membaca literatur-literatur tentang metode pembelajaran bahasa Inggris yang efektif, dan banyak menonton dan mendengarkan siaran-siaran televisi berbahasa Inggris baku seperti yang ditayangkan oleh stasiun NHK World kuharap sedikit-banyak bisa membantu. Alhamdulillah, dengan mengantongi nilai 513 pada tes prediksi TOEFL yang diselenggarakan di kampusku saat kuliah dulu, kurasa kemampuan bahasa Inggrisku sendiri sudah cukup sebagai bekal mengajar di jenjang SMP. Pronunciation-ku juga cukup bagus kok.

Satu hambatan yang cukup menyulitkanku dalam ‘membelajarkan’ Bahasa Inggris adalah kenyataan bahwa siswa yang kuajari memiliki intake yang sangat rendah. Mereka bahkan tak menguasai Bahasa Indonesia dengan baik.
Pernah suatu pagi setelah mengawali pertemuan dengan salam, aku mendapati sepucuk surat di atas meja guru. Sebuah ‘surat sakit’, begitu siswa yang hadir menyebutnya.

Assalamualaikum wr. wb.
Maaf bu, hari ini saya tidak bisa datang ke sekolah karena sakit ka’. Jadi sekali lagi, maaf ya bu..

Aku tersenyum kecut. Singkat benar isi suratnya, diwarnai dengan dialek daerah pula. *Ini mestinya sebuah surat resmi ‘kan? Aku lalu membacakannya di depan kelas, dan beberapa di antara siswa terkikik-kikik sementara yang lain hanya terpana. Niatku bukan untuk mempermalukan siswa yang bersangkutan. Aku hanya ingin memastikan tidak ada lagi yang mengulangi kesalahan seperti itu. Toh, siswa tersebut juga tidak ada di tempat.

Kurasa amanah ini kembali terasa berat di pundakku. Aku tak bisa menyalahkan siapa pun. Hanya saja, sepertinya kapan-kapan aku akan memberi sedikit protes pada guru Bahasa Indonesia.

CBG Episode 1

Kamu Harus Ke Sekolah!

Ibu       : Ayo bangun, sudah  saatnya kamu pergi ke sekolah.
Anak   : Aku tidak mau ke sekolah.
Ibu       : Tapi kamu harus sekolah.
Anak   : Aku takut teman-teman tak menyukaiku, jadi aku tak mau ke sekolah.
Ibu       : Kamu harus sekolah!
Anak   : Aku grogi banget.
Ibu       : Kamu HARUS sekolah... kamu adalah GURUNYA!

R.R Lowden & F.L Kimmel, 2008
(You Have to Go to School... You’re the Teacher)

Ini adalah kukutip dari dialog pembuka salah satu buku favoritku, dengan judul terjemahannya, Anda Harus Pengi ke Sekolah, Anda Guru!. Di antara seluruh buku strategi pembelajaran yang pernah kubaca, buku inilah yang paling menarik dan praktis.  Sejujurnya aku merasa buku-buku strategi pembelajaran – terutama yang kugunakan di bangku kuliah dulu – sangat jarang yang mengetengahkan sisi praktis yang bisa membekali para guru di kelas. Sebagian besar hanya berisi teori dan gagasan yang memenuhi otak namun cara mengaktualisasikannya hanya membuat bingung para mahasiswa. Meskipun dalam beberapa hal aku kurang sependapat dengan penulis, seperti masalah gender, kuakui buku ini betul-betul inspiratif. Jadi jika Anda juga seorang guru – baik yang sudah senior maupun yang baru menjalani praktek pengalaman lapangan – kusarankan untuk membaca buku setebal 230 halaman ini. Dengan gaya bahasa yang humoris, dalam buku ini dipaparkan lebih dari 300 strategi manajemen kelas yang akan membuat Anda benar-benar menikmati profesi sebagai guru.
For Lowden and her daughter, Felicia, it’s really a wonderful book.

CBG Episode 0

CATATAN BU GURU

Sebelumnya, aku sudah membuat sebuah blog lain dalam akun yang sama di blogger, yang kuberi titel “Catatan Bu Guru”. Tapi wong blog ini aja nda sempat kuisi, mana punya waktu ngurusin blog lain lagi? Jadinya, tulisan-tulisan terkait pengalamanku berkutat sebagai bu guyu akan diposting di blog ini.
Belakangan ini aku memang betul-betul disibukkan oleh pekerjaan di sekolah, bahkan sampai dibawa pulang ke rumah, jadi homework... T_T.  Makanya tak banyak waktu yang bisa kusisakan untuk sekedar duduk-duduk mengarang di depan netbook. *percaya nda’ kalo aku bilang sekarang lagi ngetik sambil makan malam? Hehehe..>_< percaya aja deeh.. Tapi ini jelas lebih baik daripada menganggur. Dua bulan menganggur beberapa waktu lalu saja sudah bikin aku frust.
Barangkali banyak yang berpendapat bahwa jadi guru itu enak, banyak liburnya – bahkan di beberapa negara seperti Malaysia dan negara-negara barat, setiap pekan ada dua hari libur, sabtu dan ahad. Tapi percayalah, guru mana pun pasti sepakat bahwa hari libur bukan berarti bebas dari pekerjaan.
Sebenarnya sejak SMP cita-citaku bukanlah guru melainkan menjadi arsitek. Namun aku berharap tetap bisa mensyukuri kesempatan yang diberikan Allah untuk menjadi seorang guru, meskipun statusku saat ini masih honorer (guru tidak tetap). Hmm.. jadi teringat kisah yang diceritakan Emak-ku tentang dirinya dan cita-citanya.
Emak sangat ingin menjadi guru, namun karena dinikahkan di usia sangat belia oleh kakek-nenek, Emak terpaksa mengubur cita-citanya dan sepenuh hati merelakan dirinya ‘hanya’ menjadi ibu rumah tangga. Meskipun sudah tak mungkin meraih cita-cita itu, Emak tak pernah benar-benar melupakannya, hingga akhirnya Emak melahirkan 6 orang anak, 4 diantaranya berhasil ia sekolahkan hingga menjadi guru dan aku salah satunya.  
Kuharap dengan menekuni pekerjaan ini dengan sabar dan lapang dada, kelak akan lahir di antara siswa-siswaku arsitek-arsitek, dokter-dokter, pengusaha-pengusaha, bahkan da’i-da’i dan ratusan profesi mulia lainnya.. amin.. Dan semoga tak satu pun di antara mereka yang menjadi koruptor baik kelas teri di kelurahan, apalagi kelas kakap di kementerian.. na’udzubillahi min dzaalik..
Minggu, 06 November 2011 |

Penumpang yang Menghilang... Hiii..

Pernah naik angkot? Angkutan Umum Antarkota? Mobil pete-pete? Sepertinya jawabanmu iya. Bahkan mungkin di antara kita banyak yang memiliki kenangan dengan setting di atas angkot, apakah itu kenangan manis, menggelikan, mengharukan, memalukan, bahkan kenangan yang pahit dan mengerikan. Maklum, angkot sudah merupakan ‘tempat’ umum bagi penduduk Indonesia.
Beberapa waktu lalu aku sempat membaca blog Enggalalita (lagi-lagi dia yang jadi tokoh figuran.. hehehe) tentang pengalamannya di angkot, saat dia lupa membawa dompet dan tak punya uang untuk membayar sewa. Setelah membaca, aku tersenyam-senyum mengingat bahwa aku pernah mengalaminya saat SMP. Tapi nasibku sedikit lebih baik, karena ada adik kelas yang juga menumpangi angkot tersebut *kukenali dari atribut di seragam sekolahnya. Walaupun tak saling mengenal, kutebalkan muka untuk meminta padanya agar sewa angkotku dibayarkan, hanya dengan modal kalimat pembuka pembicaraan “anak SMP 2 ya?”. Akhir ceritanya, aku mengganti uang tersebut saat berpapasan kembali dengan anak tersebut di kesempatan lain, dan aku selamat dari rasa malu. Alhamdulillah..

Siang tadi, sebuah pengalaman unik kembali kualami, entah ini menggelikan atau malah memalukan. Tidak, aku tidak lupa lagi membawa dompet. Tapi aku juga tak membayar ongkosnya. Mengapa? Karena sang sopir tak sadar aku sudah turun dari angkotnya.
***
Aku satu-satunya penumpang yang duduk di bagian belakang (satu penumpang lain duduk di sebelah sopir). Musik ‘dag-dig-dug’ – sebutanku untuk suara musik dengan volume bass tinggi yang suaranya seakan menggedor-gedor jantung – terdengar dari amplifier yang entah di bagian mobil yang mana disembunyikan. Sempat kuminta untuk dikecilkan sedikit karena aku ingin menelepon dan ia langsung mematikannya, namun sesaat setelah pembicaraan teleponku selesai ia menyalakannya kembali. Dasar pecinta musik..
Saat tiba di tempat tujuanku yang kebetulan adalah perempatan, aku memilih turun sebelum angkot berbelok.
“Kiri”, kataku. Sopir tak bereaksi.
“Kiri”, kuulangi lagi. Agaknya Pak Sopir sedang berkonsentrasi menyetir ke arah belokan, memberi jalan pada mobil dari arah berlawanan. Ditambah musik ‘dag-dig-dug’, aku ragu apakah ia mendengarku. Tapi karena mobilnya melambat dan berhenti, kupikir ia memang mendengar. Langsung saja aku meloncat pelan dari pintu mobil, berhubung tempat dudukku persis di dekat pintu. Namun belum juga sebelah kakiku mendarat dengan baik, mobil angkot tersebut sudah kembali bergerak meninggalkanku dan melewati belokan, membuatku nyaris terjatuh.
“Eeeh.. pak.. pak..” Duh, pak sopir tak menoleh. Jangan-jangan memang tak didengar. Gimana nih.. Aku berlari-lari kecil menyusul, tapi angkot sudah keburu hilang dari pandangan.
Aku lalu membayangkan sang sopir dan penumpang di sebelahnya saat tiba di terminal, atau sebelum itu, mereka menoleh ke belakang dan tak menemukanku.. kira-kira apa yang akan muncul di pikiran mereka? Huaa.. aku bisa dikira hantu atau pengamal ilmu hitam atau semacamnya, yang bisa tiba-tiba menghilang. Terlebih lagi karena pakaianku yang tak biasa di mata mereka, serba tertutup dan berwarna gelap. Bisa juga aku dikira tak punya uang membayar ongkos lalu nekat meloncat turun tanpa sepengetahuan mereka *ngawur, emang aku spiderman? Feminin gini.
Pak sopir tahu rumahku, tentu saja. Karena aku dan pakaianku yang tak biasa, di lingkungan desa tentu gampang dikenali *alias terkenal.
“Gadis dari kampung X yang pakaiannya begini dan begitu.. yang ngajar di SMP anu dan SMA anu..” terlintas di benakku hal-hal yang mungkin saja orang-orang katakan.
Semoga saja sang sopir masih memiliki prasangka baik dan tak berimajinasi yang tidak-tidak, dan semoga ia tidak menceritakan kejadian ini pada seluruh penumpang yang ditemuinya dengan versi cerita sesuai kreativitasnya. Jika hal sebaliknya terjadi, maka semakin tenarlah aku.. hiks!
Aku bertekad dalam hati, jika aku menumpangi angkot tersebut di lain waktu, akan ku-klarifikasi sejelas-jelasnya.
Jumat, 28 Oktober 2011 |

Jangan Ditiru

Malam ini sama seperti malam-malam sebelumnya. Black out, alias Mati lampu. Aku tak bisa melakukan kegiatan apapun dengan benar saat gelap begini, jadi kuputuskan menunggu aja sampai listrik kembali on. Hhhh... padahal ‘kan harus mempersiapkan pembelajaran buat besok. Gak lucu dong kalau harus ngajar tanpa persiapan hanya gara-gara mati lampu. Untungnya netbook bisa nyala tanpa listrik... eh, maksudnya bisa pakai batere.
Berkutat dengan aktivitas mengajar dan yang lainnya, tiba-tiba aja jadi teringat masa-masa kuliah dulu. Belajar dan belajar, tarbiyah dan tarbiyah (artinya sama aja sih..), gak mikirin lainnya. Kadang malah belajar pun dikerjakan hanya sebagai rutinitas semata dan seenak perut saja. Dan karena cara belajar yang salah, akhirnya hasil yang diperoleh pun tak sesuai harapan (orang tua) deh.. Bak kata pepatah Melayu, sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna.
Nah.. karena latar belakang di atas maka dapat kami rumuskan masalah yang pengen aku omelkan kali ini adalah beberapa cara belajar yang salah (nyambung-gak-nyambung, never mind lah) dan dampaknya berdasarkan penelitian empiris pribadiku. Warning! Validitas tidak dijamin.
1.    Belajar sambil tiduran. Kebiasaan ini dapat menyebabkan kelelahan pada mata karena tidak mendapat pencahayaan yang cukup, dan akibat jangka panjangnya adalah dapat menyebabkan kerabunan pada mata. Kacamataku bisa jadi bukti konkritnya.
2.    Belajar di atas kasur. Dampaknya adalah, jangan harap bisa bertahan belajar lama-lama. Apa lagi jika diapit bantal guling, ditemani semangkuk cemilan dan minuman, dan buku di hadapanmu setebal buku kalkulus universitas bersampul biru yang legendaris itu. Dijamin nguap-nguap deh...
3.    Belajar setelah kekenyangan makan mie instan. Ibid.
4.    Belajar setelah lelah nonton tivi. Ibid, plus membuang-buang waktu yang berharga.
5.    Baru belajar keras dan serius saat 10 jam lagi akan Mid Test. Pelajaran  bisa-bisa kembali tercecer keluar dari kepala sebelum kertas ujian dibagikan.
Dan lain-lain. Semua yang disebutkan diatas hanyalah beberapa kesalahan favoritku waktu awal-awal kuliah dulu.. hehehe.. Aku teringat Egha pernah bertanya pada EnggaLalita, “Ika sibuk sekali tarbiyah ya?”. Pertanyaan yang muncul karena heran kenapa akhir-akhir itu (dan selanjutnya) nilaiku jadi jelek, mungkin dipikirnya aku gak  sempat belajar gara-gara disibukkan aktivitas tarbiyah -mana mungkin lah...- Aku yang kebetulan mendengar percakapan mereka dengan enteng menjawab, “Tidur ja’...”. Gimana  pelajaran bisa masuk kalo tiap tiga halaman buku cuma jadi pengantar tidur. Hahaha!!! So, nasehatku buat para pelajar, DON’T TRY THIS AT HOME!!!
Hmm.. listrik dah on. Saatnya memeriksa jawaban Mid Test siswa. Bikin posisi wuenak di kasur ah... >_<
Sabtu, 15 Oktober 2011 |

Jangan Jadikan Dia Jodohku

“Jika ada yang hatinya mulai terusik dengan perasaan cinta terhadap lawan jenis, maka jujurlah pada hatimu dan berdoalah ‘Ya Allah, aku mencintainya tapi jangan jadikan ia sebagai jodohku’. Mengapa?? Karena perasaan itu muncul sebelum ia halal bagimu. Suatu keluarga yang ingin menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah itu bukan hal yang mudah. Semuanya perlu didasarkan atas kesucian. Kesucian dari keduanya baik hati dan fisik. Dan yang terpenting kesucian prosesnya itu sendiri karena bagaimana keluarga itu akan  suci kalau prosesnya saja tidak bersih. Keluarga yang diberkahi insyaAllah akan lahir generasi pejuang, para hafidz (penghapal) Qur’an, generasi yang tangguh, yang akan menjalankan estafet dakwah ini ke depan. Semoga Allah mempertemukan kita dengan orang yang terbaik. Amiiin.”

Demikian persisnya bunyi SMS yang masuk ke inbox hape ku sore kemarin. Begitulah para akhwat – saudari seiman – senantiasa saling mengingatkan dan menasehati di atas kebenaran (para ikhwan juga kali). Bahkan SMS yang masuk terkadang sangat tepat dengan keadaan si penerima hingga ia jadi heran, ‘kok bisa pas banget nasehatnya, apa nih akhwat nggak lagi nyindir ya?’ Hmm.. sepertinya Ukhuwah memang lebih kuat sinyalnya dari telePATI (asli, bukan iklan operator seluler manapun).
Kalian tentu setuju dengan isinya bukan? Aku juga. Hanya saja yang kurang berkenan di hatiku adalah pada doa yang disarankan oleh pengirim, terutama bagian “jangan jadikan ia sebagai jodohku”. Mengapa?? Pertama, aku tidak tahu dalil pengambilan doa ini, apakah benar ada anjurannya dari Rasulullah atau hanya dari lahir dari gagasan si pengirim saja. Jika memang ada dalilnya, mungkin sebaiknya ia mencantumkan minimal perawinya di akhir baris doa, agar kesannya lebih ilmiah. Tapi jika ternyata dalil yang dimaksud tidak ada, ia harusnya berhati-hati dan mempertimbangkan kembali pengiriman sms doa seperti ini.
Kedua, kalian kalau jatuh cinta apa nggak berat hati meminta pada Allah agar tidak menjadikan orang yang dicintai sebagai jodoh (hayo ngaku!!). Jadinya nggak jujur dong. Jika kalian mengirimkan sms doa ini pada made’u (target dakwah) yang masih sangat awam, dijamin 80% bakal lari tuh.
Aku pribadi lebih memilih untuk mengatakan (kepada yang mau mendengarkan) bahwa cinta adalah fitrah, namun bisa dikendalikan arahnya bahkan bisa dicegah dengan meminimalisir interaksi dengan lawan jenis (kata dokter, mencegah lebih baik daripada mengobati). Kalau terlanjur jatuh cinta sebelum halal, maka obatnya adalah dengan tidak melakukan tindak lanjut apapun. Hindari sekalipun hanya ingatan/khayalan tentang warna pakaian yang biasa dikenakannya, terlebih lagi keinginan untuk pedekate atau semacamnya. InsyaAllah, virus merah jambu itu tak akan berkembangbiak dalam hatimu, minimal ia akan membeku saja disana.
Mintalah jodoh yang terbaik kepada-Nya. Jika dia bukanlah yang terbaik, semoga Allah menggantikannya dengan yang lebih baik dan menghapusnya dari ingatan dan hatimu, karena sesungguhnya hati manusia berada dalam genggaman-Nya. Tapi jika si dia itulah jodoh terbaik yang kau minta, kriteria terpenuhi, bersih dari urusan tetek bengek pacaran, dan ia melamarmu pada ortumu, hanya satu komentarku. Pucuk dicita ulam pun tiba.. hehehe...