Sabtu, 15 Oktober 2011 |

Rendah hati Itu Lebih Baik

Ini kuceritakan padamu bukan bertujuan untuk membeberkan aib sendiri melainkan untuk diambil ibrah dibaliknya. Aku lebih suka bercerita dengan sudut pandang orang pertama dibandingkan yang lainnya. Intinya, kisah ini tak jauh-jauh dari topik tentang AKU. Saranku, setelah membaca ambillah yang jernih dan buanglah yang keruh (jangan malah diaduk).
***
Aku tumbuh sebagai seorang gadis kecil yang cerewet sekali. Rasa ingin tahu yang besar membuatku menanyakan setiap hal yang menarik perhatianku. Untuk memuaskan rasa ingin tahuku, aku bahkan menanyakan hal-hal remeh-temeh di sekitarku yang menurut orang-orang sudah tak perlu ditanyakan lagi.
            “Sudah sangat jelas ‘kan?” kakakku yang ke lima mendelik dengan tatapan ‘kau-pura-pura-tak-tahu’ saat kutanyakan apa yang dia masukkan ke dalam adonan kue yang dibuatnya. Di lain waktu ketika dia baru selesai menyanyikan lagu Balonku, kutanyakan mengapa ketika balon hijau pecah, balon kakakku jadi tinggal empat sedangkan katanya balon-balon itu berwarna “merah-kuuning-keelaabuu-merahmuuda-dan biiruu…” Kalau dia memang tak memiliki balon hijau, mengapa harus risau? Yang pecah mungkin saja balon tetangga. Kakakku tergelak-gelak tanpa menjawab pertanyaanku. Belakangan baru aku tahu bahwa kakakku salah menyanyikannya, mengganti hijau dengan merah sebagaimana banyak orang yang tak memperhatikan hal tersebut.
            Tak hanya suka bertanya, aku juga kerap kali menjelaskan apapun tanpa diminta, terkadang menambahkan komentar-komentar yang menurutku lebih ‘memperjelas’ kata-kataku.
            “Pak, sun itu artinya matahari kan?” teriakku pada guru Bahasa Inggris yang tengah menjelaskan kata son dan anggota keluarga lainnya di depan kelas. Saat itu aku duduk di bangku kelas dua sekolah rendah. Dengan jengkel, Cikgu Roy melemparkan kapur di tangannya ke arahku. “Betul, tapi belum saatnya kita belajar itu, nak! Sekarang ANGGOTA KELUARGA” Kemudian ia melanjutkan pelajaran. Aku tersinggung, tentu saja. Namun perlakuan itu tak mengubah kebiasaanku mendominasi kelas dengan suaraku yang keras. Aku meneriakkan “Bulu ayam! Bulu burung! Bulu elang! BULU PELEPAH!” kepada guru Sains-ku yang menanyakan jenis bulu apa yang sedang digambarnya di papan tulis kepada kami. Bedanya, dia menyambut teriakanku dengan senyuman, bukan dengan kapur. Jadilah mata pelajaran Sains sebagai favoritku kala itu.
            “Apa warna dan rasa air yang mengembun di permukaan luar gelas yang diisi susu coklat dingin? Ya, bening dan tawar dong. Kan airnya dari udara, bukan dari dalam gelas” Pertanyaan yang sering kulontarkan lalu kujawab sendiri agaknya membuat teman-teman ku tak senang. Pernah terdengar desas-desus bahwa fulanah cs sepakat tak mau berteman denganku, atau geng anu cuma pura-pura berteman denganku karena aku terlalu banyak mulut dan terkesan mendominasi seluruh pembicaraan.
Aku tak terlalu merasakan kebenarannya, karena mereka tetap berada disekelilingku, bermain dan belajar. Namun akhirnya aku membuktikan betapa buruknya hal tersebut di mata kawan-kawanku itu, saat aku berada di tingkatan 1 sekolah menengah. Mereka memboikotku.
Aku tak diajak bicara, seakan-akan aku tak ada. Bahkan mereka akan memilih meja lain di kantin saat aku mendekati meja yang mereka gunakan untuk makan bersama. Akhirnya aku makan di meja besar dan bangku panjang itu, sendirian, di tengah kantin yang ramai.
Tapi dasar tak tahu diri, aku tetap enjoy aja tanpa merespon boikot mereka. ‘Aku adalah aku yang begini. Gak perlu permintaan maaf atau klarifikasi, toh akan ada PR matematika dan Sains. Besok-besok pasti mereka bakal minta contekan lagi’, pikirku dangkal. Dan terbukti tak lama setelah itu semuanya kembali seperti semula. Mungkin saja mereka menyimpan semuanya dalam hati, aku tak akan pernah tahu.
Menyombongkan diri secara halus sering kali kulakukan secara spontan, menunjukkan betapa takaburnya aku. Akhirnya Allah menegurku yang sudah mulai baligh – ketika pena sudah mulai mencatat setiap dosa dan pahala – aku kehilangan prestasiku saat pindah sekolah ke kampung halaman, Indonesia. Ranking 24 di kelas jelas sesuatu yang bisa mencopot segala kesombongan yang memang bukan milikku.
Saat awal masa studi di perguruan tinggi, sifat masa kecilku yang sok tahu mencuat tanpa kusadari, dan ternyata itu membuat sebagian rekan tak senang padaku. Baru kemudian ketika aku beranjak dewasa (sedewasa yang aku mampu) dan mulai faham makna hidup, aku tahu. Aku tahu bahwa sekagum apapun kau pada dirimu, kau tetap punya sisi lemah dan butuh teman di sekitarmu. Terlalu bersikap dominan tak akan membuatmu tambah disukai melainkan makin dijauhi. Tak ada yang lebih menarik hati orang lain lebih daripada ketawadhu’an (rendah hati tanpa menghinakan diri).
Jika kau terlahir dengan ego yang tinggi, sepertinya sekaranglah saatnya kau mengurangi porsinya dari perilakumu, meskipun tak semudah membalikkan telur dadar. Lebih rendah hati, lebih banyak teman. Lalu coba perhatikan betapa manisnya persaudaraan, seperti yang kurasakan saat Allah menganugerahiku sahabat-sahabat terbaik: EnggaLalita, Firah Ali, Titi Fahnur, para akhawaat dan Renamiyuga. Semoga tak ada kekesalan yang tersimpan di hati kalian, karena aku benar-benar tak bisa melupakan masa kecilku sepenuhnya, bisa jadi selamanya akan berbekas. Miss you all, guys!

0 komentar:

Posting Komentar