Selasa, 07 Agustus 2012 |

From the Blog to the Facebook

I’m back!! Setelah dapat protes dari Kak Muspidayana, satu-satunya pembaca yang mengecek perkembangan tulisan di blog curhat ku yang lama sekali tak di-update – walaupun rasanya mungkin beliau hanya kebetulan ga’ punya kerjaan, trus iseng-iseng ngecek – kesempatan menulis pun muncul di liburan Ramadhan ini. Sebetulnya selama ini aku tidak sebegitu sibuk sih, hanya saja ide-ide dan curhat-curhatku seringkali muncul saat sedang dalam kondisi tak memungkinkan untuk didokumentasikan, seperti saat di angkot, saat mengendara sepeda motor, atau saat di toilet.. hehehe..
Hm.. saat ini aku ingin membicarakan topik yang agak membosankan, jadi siapkan mental kalian, ditemani sedikit cemilan akan lebih baik .>_<. Pertemuan dari blog ke facebook.
***
Blog ini awalnya kubuat untuk menuliskan kisah-kisah masa kecilku yang menyenangkan, dengan harapan bahwa salah satu dari teman-teman kecilku akan membacanya, lalu ingat padaku. Menurutku, akan menyenangkan rasanya jika mengetahui ada seseorang yang kukenal dan berkorespondensi denganku sementara ia sedang berada di daratan lain, bahkan belahan bumi yang lain. Hanya saja, sebagaimana yang dapat terlihat dari statistik blog-ku, kau akan tahu betapa minim pembacanya, dan sejak awal sudah kuduga akan begitu. Jadi agar tak ditertawai olehmu, di postingan awal kusebutkan dengan jelas bahwa jika tak ada yang membacanya, akulah yang akan melakukannya ;-P.
Well, bagaimanapun juga kenyataannya sedikit berbeda. Blog ini memang minim pembaca, tapi tujuan awalnya tercapai. Siapa sangka, tak lama setelah aku memposting kisah Sofia dan Linda, lalu blog kubiarkan mati suri berbulan-bulan karena aku tiba-tiba tertarik pada facebook (FB) untuk dipakai curhat, sebuah pesan mampir di inbox akun FB-ku. Dari salah seorang teman SD. Surprise!!
Belakangan kuketahui bahwa temanku itu – Bie, begitu aku memanggilnya – memiliki kegemaran blogwalking, dan secara kebetulan yang menguntungkan ia membaca blog ini. Karena merasa bahwa ia mengenal beberapa nama yang kusebut-sebut di dalamnya ia lalu mencariku di FB, dan ketemu. Aku sebetulnya masih heran karena saat itu di FB tak kucantumkan nama asli, namun dia menyapaku dengan nama panggilanku saat SD. *oh, mungkin karena ada riwayat pendidikanku dari SD sampe kuliah kali yah... hehehe..
Aku benar-benar senang, rasanya seperti mengikuti program Jejak Kasih – reality show yang biasa kutonton di TV saat SD – yang mempertemukan keluarga yang bertahun-tahun terpisah tanpa kontak. Kami saling bertukar nomor telefon. Bie langsung menghubungi HP-ku sesaat setelah kuberi nomornya, yang langsung kututup setelah mendengar suaranya karena grogi. Gimana nggak, bahasaku pasti kedengaran lucu nantinya, berusaha di-Melayu-kan dengan campuran dialek Makassar.. hahaha! Bie juga tak keberatan karena ternyata biaya telefon internasional mahal, dan kami melanjutkannya dengan chatting.
Bie sempat bertanya, kenapa profilku tak ada fotonya. Lalu kukatakan bahwa percuma saja memajang foto, karena aku memakai ‘cadar’.
“Itu.. penutup wajah”, kataku menjelaskan.
“Oh.. Alhamdulillah.. kalau di sini disebut niqob”, kata Bie. Aaah... aku lupa bahwa dalam bahasa Melayu, cadar bisa berarti gorden. Pantas saja dia jadi bingung.
Dari Bie, aku berhasil mengontak belasan teman SD dan SMP ku yang lain. Bahkan, wali kelasku di kelas-6 juga menemukanku, menanyakan kabar Emak dan Bapak, karena kami dulu bertetangga persis bersebelahan rumah. Betapa dunia terasa sempit jadinya. Aku lalu membuat sebuah grup alumni sekolah dan menjadikan Bie salah satu admin-nya. Isinya sebagian besar adalah teman sekelasku tentunya, ditambah beberapa adik kelas, dan sisanya dengan jumlah lebih sedikit adalah senior angkatan ‘zaman dahulu kala’ yang tak kami kenal tapi cukup ramah.
Bie seorang muallaf. Bie memberitahuku bahwa ia revert ke agama Islam 3 tahun sebelum saat itu. (aku benar-benar terkesan dengan istilah revert yang digunakannya, bukan convert. Convert bisa diartikan pindah, sementara revert berarti kembali. Jadi, muallaf tidak dikatakan pindah agama melainkan kembali ke agama asalnya). Saat aku membuka-buka wall Bie, isinya tak satupun kata-kata curhat atau perkataan tak berarti lainnya. Status, komentar, gambar, semuanya bernuansa islam. Belakangan, Bie menyatakan di statusnya bahwa ia akan menghapus beberapa teman karena suatu alasan dan memohon maaf karena hal tersebut. Aku berkesimpulan bahwa Bie menarik diri dari ‘hubungan’ yang tak perlu dan tak bermanfaat. Perkembangan terakhir, Bie menutup akun lamanya dan menggantinya dengan akun baru. Aku merasa malu mengingat wall-ku sendiri yang penuh dengan hal sebaliknya. Aku membatasi diriku dengan hijab, namun di dunia maya sepertinya begitu longgar.
Segala sesuatu bisa ditarik hikmahnya, seperti pertemuan maya-ku dengan Bie yang berawal dari blog ke FB. Aku bisa mencontoh Bie. Aku jadi berpendapat bahwa sebagian besar orang menuliskan status dan senang jika ada yang mengomentarinya, atau dalam kata lain, mereka memang mengharapkannya, senang ada yang memperhatikan. Tidak akan ada masalah jika daftar teman kita tidak dipenuhi dengan nama lawan jenis, namun dalam kasusku adalah sebaliknya. Aku telah menerima permintaan pertemanan dari siapapun yang memang kukenali di dunia nyata. SIAPAPUN. Akhirnya, setiap kali terlintas di benakku untuk menuliskan status aneh yang bernuansa galau, langsung kuusir jauh-jauh. Kalau terlanjur keceplosan, yah.. terpaksa dihapus.. >_<

0 komentar:

Posting Komentar